6.23.2008

HoLd On...

Hold on to what is good,
even if it's a handful of earth. 
Hold on to what you believe,
Even if it's a tree that stands by itself. 
Hold on to what you must do, 
Even if it's a long way from here. 
Hold on to your life, 
Even if it's easier to let go. 
Hold on to my hand, 
Even if I've gone away from you.


Pueblo Indian Prayer

Waktu itu...

Waktu memang sesuatu yang ajaib. Waktu membuat kita tumbuh. Memaksa kita menyesuaikan diri dengannya. Waktu tak pernah bergerak mundur. Ia selalu maju. Ia selalu berpacu. Waktu mendampingi kita untuk dewasa. Waktu membuat kita lebih bijaksana. Meski waktu seringkali menghimpit hingga kita terjepit, ia tetap takkan membiarkan kita berkelit. 
Aku merasa selalu dikejar oleh waktu. Ditipu oleh waktu. Dihasut oleh waktu. Aku selalu merasa waktu tak pernah berpihak padaku. Ataukah aku yang tak pernah mencoba melobi waktu?
Aku tak tahu. Yang aku tahu kini, aku tak lagi punya waktu. Aku tak lagi mendapatkan kebebasan dalam mengatur waktu. Aku tak punya apa-apa lagi, bahkan sekedar waktu...

I'm AlivE...

Just being alive is such a wonderful thing......
Ya, bagaimanapun kehidupan adalah salah satu hal terindah yang pernah kualami. Mengenal dunia. Menyapa sesama. Merasakan cinta. Tapi hidup tidak hanya sekedar hidup. Ia tak hanya bernafas atau makan. Ia tak pula hanya masalah minum atau tidur. Hidup adalah persoalan dalam berjuang. Sejauh mana kita mampu berjuang. Selama apa kita mampu bertahan. Semampu apa kita menghadapi berbagai macam masalah. Hidup adalah masalah kuat dan tidaknya kita bertahan hidup. Meski masalah datang dari berbagai arah, hidup mengajarkan kita untuk terus berjuang... meski jatuh, meski lelah, meski jenuh, meski tak ada lagi tenaga. Kita harus tetap hidup hingga akhirnya kehidupan itu meninggalkan raga kita. Tentunya, dengan seijin-Nya.



6.22.2008

SHEBA

Aku memasuki pelataran parkir Apple Café dengan cemas. Berbagai macam perasaan menghantuiku. Aku tak bisa tidur semalaman, memikirkan apa yang akan dikatakannya hari ini. May sengaja mengajakku bertemu dan berbicara empat mata hari ini. Ia tak pernah begini sebelumnya, jadi bila ia melakukan hal ini, itu berarti serius. Dan aku tak berani membayangkannya. Sama sekali tidak. Selama kami berhubungan, May tidak pernah sembarangan menyuruhku datang ke Apple Café. Sebab disinilah kami berjanji untuk saling mengerti dan menghargai. Janji yang hampir terlupa samasekali. Terutama olehku.  

Aku masih mengingatnya dengan jelas, sejelas melihat bintang di langit. Kami bertemu untuk pertama kali disini. Kami juga berkencan untuk pertama kalinya di Apple Café. Saat pertama kali bertengkar, kami juga berbaikan di tempat ini. Setelah itu, kami memutuskan hanya akan datang ke Apple Café bila sedang merayakan sesuatu. Tapi hari ini bukanlah hari ulang tahunku atau dia. Juga bukan hari jadi kami. Ataupun syarat gencatan senjata, karena kami juga tidak sedang bertengkar. Aku benar-benar tak punya gambaran.


***

 Aku melangkah menuju tempat kami biasa duduk bila berkunjung ke sini. Dari kejauhan kulihat ia sudah berada disana. Menikmati jus apukat favoritnya sambil membaca. Aku melewati meja yang ditempati pasangan muda yang berseri-seri memandang satu sama lain. Tatapan mereka penuh cinta dan kasih sayang. Tangan mereka saling menggenggam, seakan tak ingin lepas selamanya. Sama seperti kami saat pertama kali mendatangi Apple Café, tiga tahun yang lalu. 

Kalau diingat, sudah hampir tiga bulan kami tidak berkunjung kesini. Hampir tiga bulan pula aku jarang menghubunginya. Bukan kenapa-kenapa, tapi tiga bulan terakhir aku benar-benar sibuk dengan pekerjaan yang semakin menumpuk. Akhirnya, perhatianku padanya-pun berkurang drastic. Tak ada lagi kunjungan rutin, atau makan malam berdua. Apalagi nonton atau sekedar jalan-jalan. Apakah itu sebabnya ia menyuruhku datang? Hal inikah yang akan ia bicarakan?

 “May…” sapaku saat aku tiba disampingnya. Aku langsung duduk dan memasang senyum tipis. Terpaksa. 
 “O… Kau sudah datang,…” balasnya sambil menurunkan majalah yang sedari tadi dibacanya. 
 “Sudah lama?” tanyaku mencoba berbasa-basi. 
Ia menggeleng, “Tidak terlalu. Aku sudah biasa menunggu.” Jawabnya singkat. Ia meyeruput jus
apukatnya santai. Mata bulatnya memandangku sejenak. Lalu ia mengalihkannya kembali. Tuhan, mata itu, mata yang membuatku jatuh cinta padanya, batinku.  
Jawabannya barusan juga entah kenapa begitu menohokku. Menunggu. Ya, aku sudah begitu
sering membuatnya menunggu. Selalu menunggu.
“Maaf…” spontan aku mengucapkannya. Aku mencoba memandang matanya kembali. Tapi ia selalu menghindar. Sepertinya ia sedang menyembunyikan sesuatu. 
“Tidak usah kau pikirkan. Mau pesan apa?” tawarnya. 
Aku menggeleng. Aku sedang tak ingin makan apa-apa. Tidak sebelum kau katakan ada apa sebenarnya, batinku. 
“Kau tahu, aku sedang membaca artikel yang membahas tentang kelakuan menyebalkan para pria di mata wanita. Artikel ini bilang, kebanyakan mereka mengatakan menunggu itu amat menyebalkan. Bisa kau bayangkan. Ternyata tidak hanya aku yang berfikir begitu.”
“Jadi kau sebal?”
“Ya… aku sebal.”
“Padaku?” 
“Tentu saja. Pada siapa lagi?”
“May, maaf. Maaf sudah membuatmu menunggu. Tapi hari ini Sheba…”
“Sheba? Jadi lagi-lagi dia?” potong May. Nada bicaranya jadi sedikit meninggi.
“Aku tahu aku salah…”
“Kau tahu?”
“Ya…”
 “Jadi kau tahu kenapa aku memintamu datang?”
 Aku terdiam. Ragu-ragu aku menggeleng, “Untuk itu, aku benar-benar tidak tahu.”
 “Kau ingat arti tempat ini bagi kita kan?” aku mengangguk, “Aku tak akan memintamu datang kesini bila tidak ada hal yang penting bagi kita.” Lagi-lagi aku mengangguk, membenarkannya. 
 “Dan hal yang penting itu adalah…” ucapku tanpa melanjutkan
 “Putus.” Aku mendongak kaget. Tak percaya.
 “Apa?”
 “Aku minta putus.” May mengucapkan tiga kata yang paling tidak ingin aku dengar. Kalau tiga kata itu adalah ‘I love You’ tentu saja aku akan menerimanya dengan senang hati, tapi ‘Aku minta putus’ bukan termasuk didalamnya.
 “May…”
 “Sudah tiga bulan kita tidak keluar bersama. Sudah tiga bulan kita jarang nonton. Sudah tiga bulan aku selalu sendiri. Tak punya teman bicara.”
 Aku tidak menyadarinya. Benarkah tiga bulan selama itu baginya?
 “Tiga bulan ini aku berfikir tentang kita dan bagaimana akhirnya. Dan aku sadar bahwa hubungan ini tidak akan kemana-mana. Kau sudah berubah.” May menatapku dalam. Matanya mulai berair. Benarkah aku berubah?
 “Apakah menurutmu putus adalah yang terbaik?” ia mengangguk. Tak kulihat keraguan disana. 
 “Lalu, apa sebenarnya salahku? Apakah karena aku selalu membuatmu menunggu? Apa karena tiga bulan ini kita jarang keluar? Bukankah kita tidak sedang bertengkar? Kaupun tahu dengan jelas dimana aku tiga bulan ini. Lalu, apa sebenarnya kesalahanku?” tanyaku tak mengerti.
 “Tidak. Bukan. Ini samasekali bukan kesalahanmu. Kamu tidak salah apa-apa. Akulah yang salah.”
 “May…”
 “Aku yang salah. Aku yang mengenalkanmu pada Sheba. Aku juga yang memintamu menjaganya. Aku tidak tahu kalau akhirnya kau begitu menyayanginya.”
 “May, aku…”
 “Sudahlah. Aku lelah menunggumu. Selama Sheba masih bersamamu, aku tak mungkin bisa menyainginya.” potongnya cepat.
 “May, kau tahu aku sayang padamu. Itu tidak akan berubah.” Tegasku padanya.
 “Tapi kau sudah berubah, Tom. Kau tidak lagi seperti Tomi yang kukenal dulu.”
 “May, kita pikirkan lagi, ya…”
 “Tidak.. Aku minta putus. Itu saja yang perlu kukatakan padamu. Jika Sheba sudah tidak bersamamu lagi, baru aku akan memikirkannya lagi.”
 “Aku tidak mungkin meninggalkan Sheba. Ia tidak bisa sendiri.” 
 “Kalau begitu sudah jelas. Akulah yang akan meninggalkanmu.” putus May.
 May berdiri dan beranjak pergi. Aku tidak sempat melihat apakah ia menangis atau tidak. Tapi aku amat menyesalkan keputusan ini. 
Sheba. Semua karena dia. 
***
 “Tomi, sebelah sini…” aku melihat Ardi melambaikan tangannya di antara kerumunan orang. 
 Aku berjalan ke arahnya tanpa semangat. Permintaan putus May yang mendadak masih membuatku shock. Aku menelepon beberapa teman untuk minta pendapat. Tapi ternyata hanya Ardi yang ‘tersedia’ malam ini. 
 “Sudah lama?” tanyaku
 “Cukup lama. Setengah jam mungkin…” jawabnya
 “Mana yang lain?” aku mengedarkan pandanganku ke seluruh penjuru coffee shop tempat kami biasa mangkal. Tapi tak satupun diantara mereka terlihat. 
 “Mungkin sebentar lagi.” Ia menyeruput kopinya sedikit demi sedikit, lalu melihat ke arahku, “Jadi, apa masalahnya?” todongnya tanpa basa-basi.
 “Masalah?”
 “Iya. Tak mungkin kau mengundang kami minum kalau tak ada masalah.” Jawab Ardi jujur.
 “Benarkah?” 
 “Begitulah. Setidaknya menurutku.” Ardi kembali menyeruput kopinya. Tandas. “Aku bertemu May tadi sore.” ujar Ardi sedetik kemudian. Ia menatapku serius.
 “Apa dia mengatakan sesuatu?”
 “Sekilas.”
 “Ia minta putus.” 
 Ardi terlihat terkejut. Aku mencoba tersenyum. Pahit. 
 “Jadi…”
 “Yah, saat ini kami tidak punya hubungan apa-apa. Kami tetap teman. Itu saja.” Setidaknya aku tetap berfikir May akan selalu jadi temanku.
 “Apa gara-gara Sheba?” tebak Ardi. Aku mendongak kaget. Tak menyangka ia juga berfikir begitu.
 Melihat perubahan raut wajahku, ia tahu bahwa ia benar. 
 “Aku sudah mengira akan begini jadinya.” 
 “Maksudmu?”
 “Sheba. Ia hanya akan jadi masalah buatmu. Sejak kau memutuskan mengajaknya tinggal bersamamu, aku tahu ia hanya akan jadi penghalang.”
 “Jadi, kau minta aku meninggalkannya. Membiarkannya hidup sendiri?”
 “Ya…itulah yang harus kau lakukan bila ingin May kembali.” Saran Ardi
 Aku terdiam. Memikirkan perkataan Ardi barusan. Aku tak sanggup membayangkan Sheba yang harus hidup sendiri. Ia sebatang kara. Tak punya siapa-siapa dalam hidupnya. Sekarang ia punya aku. Hanya aku.
 “Aku tidak bisa…”
 “Kau ini telmi atau tulalit sih?” Ardi mulai jengkel, “May itu gadis yang sempurna. Ia cantik, baik dan pintar. Bodoh kalau kau sampai kehilangan dia hanya karena Sheba.”
“Ya. May punya segalanya. Jadi tak ada salahnya ia sekali-sekali sendiri. Tapi Sheba… ia tak punya apa-apa.” ucapku dingin. 
Ardi terdiam. Merasa bersalah. Aku hanya mampu menghela nafas lelah dan beranjak pergi meninggalkannya sendiri. Masalah ini benar-benar membuatku pusing. Aku ingin segera pulang dan mendinginkan kepala. Meninggalkan semua begitu saja. Pulang dan bertemu Sheba. Hanya dia yang bisa menolongku saat ini. 
***
 “Sheba, aku pulang…” sapaku saat masuk ke dalam rumah. Tidak ada balasan. Rumah juga terlihat sepi.
 “Sheba…” panggilku sekali lagi. Tetap tak ada jawaban. Apa mungkin sedang di kamar, batinku. Aku mengintip ke dalam kamar dan melihatnya meringkuk nyaman. Tak terganggu samasekali. Aku tersenyum lega. Sedetik aku merasa khawatir telah kehilangannya. Tapi ternyata ia tidak kemana-mana.
 Sambil membuat kopi, aku memikirkan ucapan May saat memutuskanku. Ia bilang aku telah berubah semenjak ada Sheba. Mungkin memang benar. Sheba telah mengubahku. 
 Aku begitu sayang padanya. Sheba-lah satu-satunya yang bisa mengerti aku. Meski ia hanya mendengarkan saat aku bercerita tentang May, aku merasa lega telah menumpahkan isi hatiku. Ia sebenarnya juga menyukai May. Entah kenapa May kurang cocok dengannya. Saat aku berselisih pendapat dengan May, ia pula yang menghiburku. Tidak hanya itu peranan Sheba. Ia dan aku punya minat yang sama. May tidak suka nonton bola. Ia selalu menolak saat aku ajak nonton bareng. Tapi Sheba lain. Ia tak keberatan menemaniku nonton bola. Ia selalu bersamaku. Ia berteriak denganku dan juga menangis denganku saat tim jagoan kami kalah. Intinya, hanya Sheba yang mengerti aku. Aku menghela nafas. Kopiku sudah siap. 
***
 “Pagi Sheba…” Sheba melihatku dan dari tatapan matanya aku tahu ia ingin sarapan. Sedikit lebih awal dari jam biasanya. 
 Aku mengambil sekotak makanan untuknya. Ia juga biasa minum susu, tapi hari ini persediaan susu sedang habis. Jadi hari ini takkan ada susu, batinku sedikit menyesal.
 Sheba mendekatiku dan mengelusku. Aku tahu kalau ini tandanya ia ingin minum susu. Tapi kali ini aku harus bertahan menolaknya. 
 “Tidak Sheba. Tidak ada susu hari ini. Kau mengerti?” aku menatapnya tajam. Berharap jawabannya memuaskanku.
 Miaww…miaww…
 Ya. Ternyata dia mengerti. Tidak sia-sia aku bersamanya selama ini.  
 Sheba. Kucing yang amat pintar dan mengerti aku. 

Kehilangan May memang menyakitkan. Tapi hidup penuh pilihan. Dan aku memilih Sheba. Seekor kucing yang lucu dan menggemaskan. Aku tidak tahu kalau akan begini akhirnya. Tapi bila hidup begitu mudah tertebak, bukankah takkan seru saat kita menjalaninya?

***

CERPEN INI DIMUAT DI MAJALAH CHIC EDISI AGUSTUS 2007

6.21.2008

at the beginning...

Perubahan memang bukanlah proses yang cukup mudah. Aku sedang mengalaminya. Setelah masa-masa sekolah dan kuliah yang menyenangkan, bebas dan memberikan kenangan terindah, kini aku harus menghadapi dunia kerja yang penuh persaingan. Terkadang, persaingan itu malah menyerempet hal-hal tak sehat. Tendang sana, tendang sini. Sikut kiri, sikut kanan. Sungguh, bila tak kuat mental, pasti akan terpental.

Dan, disinilah aku... At the beginning of my endless journey.

Ya, kupastikan aku siap melangkah. Kupastikan aku siap berubah. Awalnya memang tak selalu mudah. Namun, bila terlalu mudah, takkan seru bila menjalaninya, bukan??